Sabtu, 05 November 2011

Sampai Bertemu Lagi Barita "Beita" br. Ritonga


 "Bolo-bolo" demikianlah sapaan seorang Barita br. Ritonga kepada setiap orang yang dia temui. entah apa maksud dari ucapan itu, tapi yang pasti hal itu dia ucapkan dengan tulus dengan senyum yang terlihat indah menghiasi wajahnya.

Lahir di Sibiobio (8 jam perjalanan dengan kaki dari Sipiongot, Tapanuli Selatan -karena kendaraan tidak dapat masuk ke daerahnya dan belum ada jaringan telephone masuk daerah tersebut sampai saat blog ini ditulis) pada tanggal 20 Juli 1945 seorang Beita belum diketahui lahir dalam keadaan diffabel. Hal ini masih berupa asumsi, dikarenakan ada informasi sebelum masuk Panti Karya Hephata, Beita sempat diasuh di Panti Asuhan Elim, Pematang Siantar. Setelah beberapa lama tanda-tanda diffabilitas Beita mulai terlihat, maka dari itu pada tanggal 01 Januari 1973 Beita diantar ke Panti Karya Hephata oleh Diakoni Sosial.

Banyak hal yang dialami oleh Beita di Panti Karya Hephata, entah dia dapat merasakan langsung atau tidak dikarenakan retardasi mentalnya, namun satu hal yang pasti dia selalu tersenyum kepada setiap orang kemudian menyapanya dengan "bolo-bolo" sambil menganggukkan kepalanya seperti sebuah ajakan kepada yang disapanya untuk tersenyum bersama.

Beberapa waktu terakhir ini, dia tinggal bersama rekan-rekan diffabelnya dalam satu asrama yaitu: Kellys br. Simanjuntak (rungu-wicara yang saat ini menjadi calon staf Panti Karya Hephata sekaligus pendampingnya di asrama tersebut), Pindaria br. Sinaga (daksa yang sampai saat ini hanya bisa menghabiskan aktivitasnya dengan terbaring di tempat tidurnya), Rugun br. Panjaitan (mental), Henny br. Panjaitan (netra) dan Samsia br. Silalahi (netra).

Setiap harinya Beita menjalankan aktivitas sehari-harinya sama seperti rekan-rekan lainnya. Salah satu hal yang unik adalah setiap lonceng makan berbunyi, dia bersama Rugun berjalan perlahan bersama menuju ruang makan dengan membawa sebuah rantang makanan. Bagi sebagian orang mungkin itu hal yang biasa, namun rantang makanan itu adalah sarana bagi dia untuk berbagi kasih dengan sahabatnya Pindaria yang memang hanya bisa terbaring dan diantar makanan olehnya. Kalau kita melintas di hadapannya ketika menuju ruang makan, pasti Beita akan tersenyum kepada kita lalu mengucapkan "bolo-bolo" kemudian mengarahkan tangannya ke mulut sambil menganggukkan kepalanya seperti sebuah ajakan "mari makan bersama sahabatku".

Sekarang ini semua hal tentang Beita akan menjadi kenangan indah bagi setiap orang yang pernah mengenalnya. Tuhan lebih mengasihinya dan ingin merangkulnya dengan penuh kasih. Tepat pada tanggal 05 November 2011 sebelum lonceng makan siang berbunyi, Beita seperti merasakan kesakitan pada tubuhnya, saat dia minum tiba-tiba dengan sedikit berteriak, Beita menghembuskan nafas terakhirnya. Antara percaya dan tidak percaya semua orang di Panti Karya Hephata, baik staf maupun klien, segera memeriksa keberadaan terakhir Beita. Nadi di tangan dan di lehernya sudah tidak ada tanda-tanda, nafasnya sudah tidak berhembus dan jantungnya benar-benar berhenti berdetak. Beita telah pergi menuju Bapanya di Surga.

Pindaria yang tidak bisa bergerak untuk melihatnya hanya bisa sedikit menjerit dan menangis karena sahabatnya telah pergi mendahuluinya. Namun kami semua yakin bahwa Tuhan Sang Sumber Kehidupan telah merangkulnya dengan erat dan penuh kasih, hal ini terlihat dari senyum manis yang masih terpancar dari wajahnya dan tidak pernah pudar sekalipun jiwanya telah bergerak menuju Sang Penciptanya.

"Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan", mungkin kalimat inilah yang terucap di dalam hati Beita ketika dia menghembuskan nafas terakhirnya. Hal ini dikarenakan; senyum yang terpancar di wajahnya mampu menyejukkan hati setiap orang yang melihatnya, sapaannya merupakan semangat baru bagi setiap orang yang disapanya, dan kasihnya kepada para sahabatnya juga kepada semua orang menjadi bukti bahwa dia ingin menjadi pengikut Kristus yang setia sampai akhir sekalipun tidak mampu dia utarakan melalui ucapannya.

"Bolo-bolo" itu juga yang mungkin diucapkan Sang Bapa ketika Beita menghembuskan nafas terakhirnya, dengan maksud "terimakasih anak-Ku tugasmu telah selesai di dunia ini, mari datanglah kepada-Ku agar dapat kupeluk erat karena Aku sungguh bangga dan sangat mengasihimu lebih dari siapapun juga yang pernah mengenalmu".

Sebagai orang yang beriman pun kami yakin ketika Pintu Gerbang Surga terbuka, Beita mengintip perlahan dan muncul ke hadapan kita kemudian dengan mengangguk-angguk sambil memberikan senyum terindahnya dia berkata "Bolo-bolo, selamat datang sahabatku, mari masuk karena Sang Bapa ingin kita bersama dengan-Nya dalam Perjamuan Kasih di rumah-Nya yang kudus".

"Bolo-bolo" kami sungguh mengasihimu Beita namun ternyata Tuhan lebih mengasihimu. Sampai bertemu lagi Barita "Beita" br. Ritonga.

Senin, 10 Oktober 2011

Berilah Pancing Bukan Sekadar Ikan

Kini hanya satu gerbang aktif untuk masuk ke lokasi Panti Karya Hephata (Hephata) yang terletak di tengah-tengah perkampungan Sintong Marnipi. Seperti biasa, sekitar dua setengah tahun yang lalu masih akrab didengar sorak-sorai kegembiraan dari penghuni panti ketika terlihat datang perlahan-lahan mobil yang bukan berasal dari dalam panti (alias tamu/pengunjung) menuju pekarangan panti. Terdengar pula teriakan kecil dan keras menunjukkan kesenangan dari anak-anak: ”ro tamu, ro tamu, ro tamu (tamu datang, tamu datang, tamu datang)”, begitulah anak-anak sambil tersenyum, tertawa dan tidak sedikit pula yang loncat-loncat kegirangan dan sebahagian mulailah merapat mendekati yang masih di dalam mobil. Entah bagaimana persisnya perasaan saudara-saudari/ para orangtua yang datang itu? kelihatan memang ada yang begitu senang begitu dihampiri anak-anak Hephata, namun tidak sedikit pula yang menjadi takut (khususnya golongan anak-anak dan remaja). Waktu pun berlalu bersama-sama dengan persekutuan dengan saudara-saudari kita di panti, mulai dari hanya berbincang-bincang sejenak sampai kepada berkumpul di tempat ibadah. Berkumpul, inilah saat yang paling indah untuk siapapun (berkoinonia) juga sekaligus bermarturia dan berdiakonia.

Acara ramah-tamah tersebut masing-masing membawa makna tersendiri bagi tamu yang datang dan juga bagi penghuni panti. Dengan rasa senang dan sangat terbuka anak-anak pun sering mendapat sesuatu yang dapat dibawa pulang ke rumah (ke kamar masing-masing), bisa saja makanan ringan, pakaian ataupun uang.

Suatu ketika, panti pun kehadiran tamu dan anak-anak pun menunjukkan kegembiraannya sambil bersorak-sorai sampai kepada berkumpul bersama. Suatu waktu sang tamu datanga hanya ingin tahu apa yang menjadi program Hephata dan kemudian mohon untuk didoakan oleh anak panti kemudian sayonara... Anak-anak yang biasanya pulang dengan senyuman, kali ini pulang dengan tangan hampa. Tidak dapat disembunyikan rasa kekecewaan itu disana-sini yang dikarenakan sudah biasa menerima, dan itu terjadi berulang-ulang. Apa yang akan terjadi? Demikian bagi sebahagian penghuni.

Topik mengenai ”berilah pancing bukan ikan dan bantu penyediaan kolam pancingnya  pada edisi ini dengan sengaja dipilih untuk bapak, ibu dan saudara/i sekalian pemerhati Hephata. Ungkapan sekaligus menjadi program panti inipun tidak sedikit menuai kritikan tak langsung dari klien panti yang dibina. Sepertinya ada tersembunyi kekejaman dalam program itu untuk pihak yang merasa tidak dikenyangkan ketika sang tamu pulang dan tidak membawa apa-apa. Akan tetapi mari melihat jauh ke masa depan saudara-saudara yang ada di panti ini, dengan menetapkan program bahwa Hephata sebagai tempat untuk merehabilitasi (fisik, mental dan spiritual), tempat menerima pendidikan (SLB A,B,C,D), tempat menerima training keterampilan (skill) untuk mewujudkan pemandirian, di mana hidup mandiri adalah hak dari setiap anak (bangsa). Seandainya panti ini hanya menjadi tempat untuk penampungan lalu memberi makan, minum dan pakaian saja, maka pupuslah kreativitas dan inspirasi mereka. Jadilah mereka seperti orang-orang yang tidak memiliki jati diri dan harga sedikit pun.

Manusia disebut manusia ketika dia dapat memakai pikiran (otak) logikanya dan hatinya sekuat tenaga (dari seluruh kemampuannya) untuk berbuat sesuatu yang sangat berharga. Dan itulah yang terjadi dan dapat dilihat sekarang ini di Hephata. Ada beberapa pelatihan (keterampilan tangan, jahit-menjahit, beternak dan bertani). Ini dilakukan setelah anak mendapat pelatihan yang ekstra dalam hal kemandirian bina diri (dapat mandi bersih, berpakaian rapi, makan dengan baik dan mencuci pakaian, merapikan kamar, disiplin, dsb.) sendiri setiap hari walaupun untuk sebahagian anak sangat sulit untuk tuntas.

Pelatihan itu pun diteruskan kepada para staf-staf panti agar semua staf dapat semakin diperlengkapi dengan ilmu-ilmu dan kecakapan-kecakapan yang khusus, seperti ilmu Fisiotherapy, management panti, okupasi therapy, ketunanetraan, tuna daksa, tuna grahita dan double handycap.

Bukan ingin menyatakan bahwa membawa makanan atau uang untuk dibagikan itu tidak bermakna tapi akan lebih bermakna ketika dapat disinergiskan dengan berbagai ide dan berdampak sangat besar di hidup masa depan para diffabel yang layani di Hephata. Pancing adalah simbol dari alat yang diiringi oleh usaha, kesabaran, keuletan, seni dan pengharapan untuk mencapai tujuan. Namun demikian perlu juga dipersiapkan kolam yaitu “peluang pendistribusian hasil karya” agar pancing itu berguna dan tujuan yang ingin dicapai dapat diperoleh, yaitu ikan yang berkecukupan.

Bersyukur ketika para tamu yang akan datang lebih dahulu menghubungi, sehingga Hephata bisa mengkonsultasikan apa yang dibutuhkan di panti maupun kegiatan pelayanan lainnya. Dengan demikian para tamu yang akan datang bisa memberikan yang memang kebutuhan dari pelayanan Hephata sehingga lebih tepat guna. Tuhan yang menggerakkan hati dan memberkati kehidupan para pemerhati Hephata, sehingga dapat menjadi saluran berkat bagi Hephata, yang dampaknya Hephata juga dapat menjadi saluran berkat bagi segala makhluk demi kemuliaan nama Tuhan.

Dituliskan oleh: Pdt. Osten JH. Matondang, STh
Pimpinan Panti Karya Hephata

Minggu, 02 Oktober 2011

FANTASTIC DIFFABEL Menaklukkan Dunia Fantasi

Aroma keramaian yang berbeda menjulang di sekujur khayalan fantasi diffabel Hephata. Hebatnya aroma itu mengajak  mengelilingi setiap tapak jalan yang sedikit lebih mulus daripada kerikil imut di Hephata. Kami (Pandi Silaban, Weldrin Situmeang, Haposan Lumbangaol, Rumi Purba, Hartono Simatupang), sang musisi diffabel bersama dengan pejuang-pejuang tangguh Hephata Pdt. Osten Matondang dan Binsar Nababan, serta para sahabat hati kami, Kel. St. S. Manik br. Siahaan dan Ny. St. H. Nababan br. Siburian, berbagi kegirangan, keraguan, keterkejutan dan keceriaan, bersama segudang keindahan wahana Dunia Fantasi, yang mencengangkan.

Kaki melangkah ringan namun ragu dengan jalan yang dipijakinya, hendak kemana sang tuan membawa.  Orang bilang berfantasi adalah suatu lapangan bola yang luas tempat kita mengelilinginya dengan berbagai kawanan angan-angan lucu dan haru, yang bahkan hari bisa lupa akan dirinya sendiri. Tak terkecuali kami sang fantastic diffabel. Lapangan bola fantasi kami diisi tak dengan rerumputan ataupun dedak untuk mengenyangkan ternak lagi, tak juga diisi dengan sekat kokoh sang ijuk yang mungkin juga sudah merindukan lagi. Tapi lapangan hijau itu hendak menuliskan syair dengan nada-nada gubahan hati kami tentang nikmatnya bersyukur dan mesranya Tuhan mengasihi kami.

Waktu yang berdentang tegas namun bermakna lembut mengajak bermain yang biasanya tak lazim dilakukan di Hephata, mengingat Hephata tidak mungkin menyediakan wahana bermain karena anak Autis bisa ”membungkus dan menyimpannya”  di rumahnya untuk bermain sendiri.

Dunia fantasi yang namanya megah di telinga kami itu pun menyambut kehadiran kami dengan wajah bertanya, ”siapa tamu baruku ini?”. Pijakan kaki kami menjawab sombong, ”bersiaplah untuk kami taklukkan!”.

Fantasi pun dimulai. Sahabat angin bernama Bianglala kami kunjungi. Perkenalan pertama ini kami lakukan dengan meraba empuk tipuannya supaya setidaknya dia tidak macam-macam dengan sang diffabel kebanggaan Hephata ini. Dengan kokoh Bianglala mengangkat kami dan memutar-mutar dengan harapan kami turut bermain dengan sahabatnya, sang angin. Dengan keberanian yg memusingkan kepala kami menyapa angin yang sudah tertawa duluan menghembuskan aroma bersahabatnya kepada kami. Tenang diffabel tangguh, terpaan angin boleh memutar-mutar dan memusingkan, tapi dia tidak akan mencampakkan buatan tangan Sang Anugerah ini.

Saat turun, semacam perahu kebanggaan Nuh memanggil kami. ”tidak hanya Bianglala yang bisa mengayun-ayun kalian sobat... berkenankah mengarungi lautan fantasimu denganku Kora-kora, si perahu cantik ini?”. Sedikit tergelitik, ”namamu sangat aneh,” kata kami. Sang Kora-kora dengan bangga menyuguhkan ayunan hebatnya hingga 90°. Serasa mengarungi lautan angan-angan dengan kepala tegak layaknya mawar putih hephata yang menegakkan mahkotanya menyambut fajar. ”Kora-kora...kau memang hebat!”.

Bukannya mendung apalagi hujan tapi kenapa halilintar seperti datang menyambar ya??? Hmmm ternyata kereta kecepatan tinggi ini tak salah membanggakan namanya yang pergerakannya mengalahkan kedipan mata dan ketajaman kecuramannya mengalahkan tatapan mata puncak gunung yang melambung di langit kebebasan. Ketika ia berbicara, aku tak punya kesempatan memotongnya. Sedikit ada rasa khawatir ketika sang Halilintar menantang adrenalin memacu. Siapa menyangka tangguhnya sang Halilintar berlari cepat, ternyata mampu dikalahkan oleh kepolosan dan ketulusan hati bersahabat oleh Hartono Simatupang yang tak bosan mengajak halilintar berlari 2x mengejar impian kanak-kanaknya yang menghampar luas di lapangan rerumputan Hephata yang senantiasa menemani silih berganti.

Hari siang semakin gencar membakar setiap kegetiran akibat fantasi-fantasi yang seolah takut tak terjawabkan. Tuan Hysteria mengajak kami duduk di beranda sederhananya namun masih menyimpan pertanyaan atas tubuh tingginya. Kami dipersilahkan duduk dengan ramahnya layaknya tamu kehormatan kerajaan wahana sejuta kejutan. ”Naeng marhua na ma on ate”, Pandi Silaban harap-harap cemas menantikan kejutan sang tuan Hysteria. Gemuruh suara apa itu tuan yang hampir memekakan telinga? Marahkah engkau saat kami bingung dalam risau kami yang membuat jantung ini tak menentu berdetaknya? Suara tuan Hysteria mulai berteriak menandakan kejutan akan segera dimulai. Hysteria melemparkan kami hingga ketinggian 50M dan kemudian dengan seketika juga menjatuhkan kami kembali hingga 30M ke bawah. ”Ampuuunn tuaann...sudah di ketinggian mana jantungku tertinggal?,” seru Pandi Silaban yang tak mampu berdiri menahan keterkejutan jantung yang hanya semata wayang itu! Ahhh tuan...kau begitu bersemangat menjamu kami. Tapi terimakasih, karena baru menyadari bahwa setiap tamu kehormatanmu kau perkenankan menikmati tingginya angan-angan akan suatu pengharapan dan tetap bersiap ketika tanpa disadari juga diuji mengalami penurunan, namun tetap digenggam oleh balutan pengaman-pengamanmu. Sehingga walaupun kami turun, tapi kami tidak akan terjatuh. Manusia memang belajar dari Penciptanya. Tak ada hal yang selalu tinggi karena dia juga harus merasakan turun supaya dia boleh bersyukur karena pernah tinggi. Dan dia juga harus merasakan tinggi supaya dia juga bersyukur kokoh walaupun pernah turun. Hysteria’ku lengkap sudah!

Hei, ada apa dengan Tornado? Dia hanya melihat dengan sendu. ”Aku hanya tak mampu melayani kalian dengan kondisi yang tak sempurna”, wahana Tornado menyesal karena masih dalam proses perbaikan. Sebenarnya kami juga khawatir kalau seandainya sang Tornado benar-benar sempurna melayani kehadiran kami. Dalam lubuk hati terdalam terpanjat doa agar tidak memenuhi wahana ini, walaupun tak tega dengan sang Tornado yang ditakuti harus berjuang untuk kesempurnaannya selanjutnya. Tornado mengajarkan, ”dalam hidup tidak perlu takut sebelum mencoba, karena kau hanya akan kurang berhasil dibandingkan sama sekali tidak mencoba yang membuatmu menjadi pecundang bagi kekejaman yang sebenarnya bisa diruntuhkan menjadi kearifan”. Maafkan kami tornado...

Rancangan Kebenaran adalah rancangan damai sejahtera. Mengakhiri luapan sorak-sorai fantasi yang dengan bebas terbang melayang, kecantikan istana boneka mengingatkan istana boneka asrama Johanes Hephata, tempatnya sang boneka-boneka lucu beriang ria laksana kupu-kupu kecil berkejar-kejaran di pertamanan yang indah. Display boneka dan musik khas dari setiap suku Indonesia dan juga negara-negara dunia ditengah perairan kehidupan yang beragam, menjadikan kami serasa menghirup kerinduan akan Hephata yang juga perairan diffabel yang berenang bersama riakan air kehidupan bersama diiringi opera musik hati yang bersyukur. Mengunjungi setiap daerah Indonesia bahkan setiap negara dan merasakan tarian sambutan boneka-boneka lucu menghilangkan kegundahan kala perbedaan itu sering dikambinghitamkan pembawa masalah. Ketika bulan berbeda dengan matahari, mereka justru saling bergantian melengkapi. Ketika air tak pernah menyatu dengan minyak, penyulingannya justru berdaya manfaat. Ketika keragaman jenis diffabel dirasakan berat untuk ditangani, keragaman itu justru melemahkan keraguan dan memuaskan dahaga kerinduan orang percaya akan besarnya kuasa Sang Kebenaran.

Fantasi berakhir dilapangan luas yang tetap menghijau dan menanti untuk bermain lagi dengan senyuman yang tak putus-putusnya mempersiapkan segudang cerita dan sukacita untuk dibagi bersama cinta kami di Hephata.

Dituliskan oleh: Rosnila Nellawaty Sihombing, STh
Koordinator Bina Karya Panti Karya Hephata

17an Euy!!!!

Tujuh belas Agustus tahun ‘45
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka Nusa dan Bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka!!!

Di tengah kesibukan team musik Panti Karya Hephata penjemaatan ke Jakarta, Keluarga besar Panti Karya Hephata yang tetap tinggal di Hephata ternyata tidak kalah sibuk loh!!!! Tetap semangat menjalani tugas bahkan juga bersiap untuk menyusun acara sederhana untuk merayakan HUT RI ke-66. Beberapa perlombaan diadakan pada tanggal lahir bangsa Indonesia itu, melibatkan pegawai dan keluarga dan pastinya seluruh anak-anak (klien) Panti Karya Hephata. berbagai rangkaian perlombaan dilaksanakan ketika itu.

Serangkaian perlombaan untuk memeriahkan hari itu ternyata mendapat perhatian dan respon yang baik dari keluarga besar panti Karya Hephata, meskipun awalnya hujan turun, namun semangat tidak surut untuk merayakan acara itu. Semua berjalan dengan baik bahkan membuahkan canda dan tawa di tengah keluarga besar Panti Karya Hephata. Kegiatan yang diadakan mungkin adalah kegiatan yang biasa diperlombakan di berbagai daerah ketika merayakan HUT RI. Tetapi hal yang mengundang gelak tawa adalah ketika akan dimulainya futsal dan panjat pinang, setiap pemain (yang semuanya adalah laki-laki) harus menggunakan daster alias pakaian cewek dan rok.

Beberapa pegawai selesai menggantung kerupuk-kerupuk yang siap untuk dimakan, setelah hitungan ketiga klien-pun memulai untuk melahap abis kerupuk yang digantung di hadapan mereka, sampai waktu habis keluarlah pemenang dari keluarga Sitorus, tiga kakak beradik yang lincah dan aktif; Jeriko Sitorus, Anto Sitorus dan Hernita Sitorus berhasil mengalahkan teman-temannya untuk melahap kerupuk yang bergantungan.

Dengan berbekal persediaan logistik, sumbangan dari para donateur Panti Karya Hephata, itulah yang dimanfaatkan menjadi hadiah bagi para pemenang dari setiap permainan. Meskipun hadiah yang diberikan sederhana namun tidak mengurangi rasa syukur bagi setiap pemenang, mereka menerima hadiah dengan kegembiraan dan senyuman apalagi mereka juga difoto, jadi sedikit berpose deh…hehehe…

Dingin-dingin begini enaknya makan apa ya??? Apalagi semua pada ngumpuuuuuulll……pasti seru deh…..Yuuuuuuuup, panitia ternyata tidak habis ide loh!!! Mereka juga mempersiapkan makan mie bersama. Setelah seluruh kegiatan dilaksanakan, semua berkumpul di lapangan SDLB PK. Hephata HKBP, untuk menikmati mie goreng, teh manis panas dan susu panasssssssssss.

Seru, menyenangkan meskipun hanya acara sederhana. Kebersamaan yang tercipta adalah hal yang paling penting dari setiap kegiatan. Ditengah aktifitas sehari-hari yang dijalankan di Panti Karya Hepahata, dibutuhkan juga kesegaran yang dapat di diperoleh dari kegiatan-kegiatan yang menghibur, seperti kegiatan 17-an ini. Selain mendampingi klien dalam hal  bina diri dan bina karya, klien juga diajak untuk menikmati kebersaman dan keceriaan bersama. Tetap semangat Melayani Tuhan!!!!! Merdeka!!!!!!!!

Dituliskan oleh: Renny Juwita Simanjuntak, STh
 (Koordinator Asrama Puteri dan Sie. Kerohanian Panti Karya Hephata)

Jumat, 08 Juli 2011

Hidupku Beruntung di Hephata

Hidupku Beruntung di Hephata
By: Putra Ngolu Simatupang
Inilah aku..
Awalnya aku bingung dengan hidupku
Ke mana aku sekolah?
Di mana sekolah yang mau menerimaku?
Sejak lahir aku tak dapat berjalan
Tidak ada sekolah yang mau mengajariku
          Aku diajak ke Panti Karya Hephata
          Awalnya aku tidak senang
          Aku takut jauh dari orangtua
Tapi di Hephata aku punya banyak teman
Ada orang-orang seperti orangtua kita sendiri
Seperti kakak kita sendiri
Seperti abang kita sendiri
Seperti adik kita sendiri
          Banyak perubahan yang ku tahu di Hephata
          Aku sudah bisa membaca dan menulis
          Aku sudah bisa menyulam
          Aku sudah bisa mengerjakan keterampilan yang lain
Aku bersyukur memiliki rumah yang bagus di Hephata
Aku bersyukur memiliki gereja tempatku beribadah
Aku bersyukur memiliki tabungan untuk masa depanku
          Aku ingin kalau aku besar nanti, 
          aku mengerti bagian elektronika
          Supaya aku bisa menjaga adikku
          Aku bersyukur kepada Tuhan
          Karena di Hephata, aku bisa berkarya

Sekilas Tentang Putra Ngolu Simatupang
Putra Ngolu Simatupang adalah salah satu binaan Panti Karya Hephata yang memiliki jenis diffabel Tunadaksa. Saat ini Ngolu berumur 11 tahun dan pada saat ini dia naik kelas 4 SDLB-D. Dia bercita-cita mampu untuk memperbaiki segala macam elektronik, hal ini supaya dia bisa menjaga adiknya Pangihutan Simatupang yang merupakan binaan Panti Karya Hephata juga yang memiliki jenis diffabel tunagrahita. Tuhan Memberkati Cita-cita dan Harapan Putra Ngolu Simatupang agar semakin nampak Kuasa Tuhan melalui kehidupannya.

Kamis, 07 Juli 2011

LIDI YANG BERCERITA

(sebuah refleksi dari keterampilan membuat sapu lidi)


Kisah unik diawali pada akhir Maret 2011. saat dahan-dahan aren dirindukan menjadi sahabat mengisi hari-hari bersama para binaan PK hephata. Dahan-dahan aren seperti mengajak setiap binaan mengukir hari sambil bercengkerama di ruang keterampilan PK Hephata.
            Wajah ruang keterampilan tersenyum kala setiap anak tiba bermain dengan imanjinasi yang tertuang. Binaan dan pembina beriringan menggandeng dahan-dahan aren bercerita.
            ”kak, apa kita tidak berdoa dulu?”, tanya Lilis (tunanetra). Setiap binaan kemudian menggenggam sahabat barunya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Lilis dengan senyum syukur memulai kegiatan dengan berdoa.
Ayunan tangan dimulai dengan sebilah pisau kecil. Para binaan mulai berkata, “biarlah dahan atau daun aren ini melambaikan ayunannya sendiri. Karena lidi yang tersemat di tengahnya akan mempersulit lambaian lembutnya. Dan biarkan jugalah lidi merasakan kokohnya sendiri, karena ayunan daun akan memaksa kekokohannya beralih.”
            Hati yang bersih mulai melakukannya. Mata jasmani boleh kering tidak mengenal rupa, namun daun aren membisikkan, “ambillah aku untukmu dan akupun dengan senang hati mengikutimu”. Walau tenaga tak penuh tersimpan seperti di tangan pembajak sawah, namun daun aren mengarahkan, “marilah tuaian Pencipta, genggam aku dengan lembutmu itu, dan aku akan mengikutimu”.
            Perjalanan kebersamaan tidak selalu bertahtakan taburan bunga-bunga segar, karena terkadang dedaunan layupun turut berhamburan bersamanya. James Pakpahan (tunadaksa) menghela nafas tanda jerih payahnya berjuang keras, “kapan kau habis lidi?”. Daun aren dan lidi berbisik, “kau akan sangat merindukanku sampai walau bagaimanapun kau akan tetap menemuiku”. James mulai menuntut pada Pembina, “mana gajiku Rp.1000,- !!”. sang Pembina tersenyum geli dan berkata, “lidi-lidi ini telah memberimu 1000 tawa, 1000 rasa kantuk, 1000 rasa cemburu, 1000 kepuasan, 1000 kecemasan, 1000 angan-angan, dan bahkan 1000 penantian”. James hanya tertawa diikuti sekeping roti yang masuk ke mulutnya untuk mendapatkan 1000 kepuasannya.
            Hari semakin siang dan minggu-minggu dilalui bersama dengan ayunan jemari yang berebutan dengan pisau kecil mendapatkan perhatian dahan dan lidi. Imajinasi Rugun Panjaitan (tunagrahita) melambung tinggi menatap kekeringan musim kemarau. Dahan lidiku yang malang. Setiamu hingga menguning layaknya sahabat yang terpaku mendengarkan curahan kesedihan. Rugun mengajak dahan lidi bermain dengan membasahi sekujur dahan dan lantai ruangan dengan air seninya yang ia sendiri tidak mengerti dari mana datangnya.  Dahan aren, lidi, binaan dan Pembina hanya menatap terpaku, “bukankah aromanya sangat tidak sedap???”. Saat bermain adalah saat berimajinasi.
            “na…na…naaa”, untaian nada-nada Riani (tunagrahita) diiringi gemulai daun aren turut menari, seakan cerita mereka tak pernah habis membawa senyuman.
            “hei kenapa layu daun aren ini?” perhatian Ruslan (tunanetra) tertuju pada daun aren yang digenggamnya. Daun aren menoleh dan berkata, “terima kasih atas perhatianmu, aku mengira kau telah melupakanku”.
Sejenak beristirahat. Dapot Marpaung (tunagrahita) berikhlas hati melayani tanpa pamrih. Mengantarkan air untuk membasuh tangan-tangan indah buatan Sang Pencipta. Bersama menikmati kepuasan dari berkat-berkat Tuhan. Bersama menghela nafas berharap cerita ini akan berlanjut bahkan dirindukan. Pembina mengarahkan mari membersihkan diri, mari menata hati, supaya kita boleh kembali lagi, melepas cerita bersama lagi.
“jangan pulang dulu, lidiku belum banyak”, kata Sabar (tunaganda -tunadaksa + tuna grahita). Lidi mulai tergelitik, ”marilah tinggal denganku”...
Lidi yang telah bersih dari daun tersenyum malu saat satu sama lain diikat bersama dalam persaudaraan yang amat baik seperti persaudaraan yang terjadi di PK Hephata.
Keterampilan membuat sapu lidi boleh dipandang sederhana dan tidak ada istimewanya, tetapi pandang dan rasakanlah ketulusan dan kepolosan hati yang melakukannya, maka kita akan semakin belajar caranya bersyukur kepada Sang Pecinta.
Rosnila Sihombing
Pembina Bina Karya

Selasa, 21 Juni 2011

Clinical Pastoral Education (CPE)

Terkait dengan peningkatan kapabilitas para staf yang melayani di Panti Karya Hephata, pada tanggal 23-28 Mei 2011, dilakukan Clinical Pastoral Education (CPE) oleh Pdt. Anna Vera Pangaribuan, MSi di Panti Karya Hephata. Karena banyak staf yang mengikuti pembekalan pastoral ini, maka pembekalan ini dilakukan 2 tahap, yaitu para staf dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok pertama melakukan CPE pada tanggal 23-25 Mei 2011 dan kelompok 2 pada tanggal 26-28 Mei 2011.

Dalam pelaksanaan CPE ini selain dilakukan pembekalan pastoral, para staf pun dikonseling pastoral pribadi lepas pribadi oleh Pdt. Anna Vera. Hasilnya cukup baik, sebagian besar para staf merasakan ketenangan ketika dikonseling dan terbuka untuk menceritakan segala sesuatu tentang pribadi maupun pelayanannya.

3 hari yang dijalani oleh setiap kelompok, para peserta dibekali banyak sekali ilmu, khususnya ilmu psikologi. Terlebih pelayanan yang dibutuhkan adalah bagaimana agar tetap tenang menghadapi para diffabel. Untuk itu dalam CPE ini, para peserta diajak untuk terus berpikir positif dalam melihat segala sesuatu, baik dalam berhubungan dengan sesama pelayan maupun dalam melayani para diffabel. Berpikir positif ini bukan berarti tidak bisa mengkritisi, tapi dengan berpikir positif justru para pelayan diajak lebih kritis dalam melihat segala sesuatu. Dengan melakukan kritik yang membangun pasti akan membuat terjadinya sebuah perubahan ke arah yang positif atau yang lebih baik.

Selain pembekalan secara psikologis, para peserta juga diingatkan kembali akan panggilannya sebagai pelayan yang dipilih Tuhan untuk melayani umat pilihan-Nya, yaitu para diffabel di Panti Karya Hephata. Terlebih memang para diffabel yang ada di Panti Karya Hephata, sebagian besar adalah orang yang belum bisa mengurus dirinya sendiri, sehingga memang sebagai pelayan harus bekerja keras memberikan perhatian khusus secara total dan memberi teladan. Bukanlah suatu hal yang mudah dalam memberikan teladan, namun jika para pelayan sudah memahami panggilannya pasti akan sangat mudah dalam memberi teladan berangkat dari spiritualitasnya yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih para difffabel, apa yang dilihat itulah yang dilakukan dan apa yang didengar itulah diucapkan, sehingga bisa dikatakan apa yang tercermin dalam kehidupan para diffabel itulah yang dilakukan para pelayan di Panti Karya Hephata. 

Dampaknya kinerja para staf cukup meningkat untuk lebih semangat lagi dalam melayani. Setelah semua kegiatan selesai, pada ibadah penutupan dilakukan pemberian sertifikat, perjamuan kasih dan Perjamuan Kudus yang diikuti oleh semua staf dan juga pimpinan Panti Karya Hephata. Semoga pembekalan CPE ini sungguh-sungguh bermakna bagi peningkatan spiritualitas para staf yang tercermin dalam kehidupan pelayanan sehari-hari di Panti Karya Hephata.

Sabtu, 18 Juni 2011

Panti Karya Hephata dan Jubileum 150 Tahun HKBP

Kiri-Kanan: 
Pdt. Osten Matondang (Pimpinan Panti Karya Hephata), 
Pdt. Rich Johnson Simamora (Phraeses Sibolga), 
Pdt. Nelson Siregar (Kepala Departemen Diakonia), 
Drs. Tunggul Pasaribu (Kementerian Sosial RI), 
Pdt. Parulian Sibarani (Phraeses Toba), 
Pdt. Eden Siahaan (Kepala Biro Caritas & Emergency)
Pada tahun 2011 ini, tepatnya bulan Oktober, HKBP akan merayakan jubileum ke-tiganya yaitu 150 tahun. Membebaskan, itulah kata kunci yang dipegang oleh HKBP dalam keseluruhan tindakan pelayanannnya. Kata ini juga menjadi semangat dari tindakan Departemen Diakonia dalam menghadapi segala kondisi. Hal ini terkait jelas dengan usaha merayakan Pesta Jubileum 150 Tahun tersebarnya Injil di Tanah Batak. Yang ditekankan oleh Departemen Diakonia HKBP adalah bagaimana memaknai pembebasan Bangsa Israel juga menjadi pembebasan bagi seluruh umat dan seluruh ciptaan, bukan sekadar perayaan seremonial. Usaha monumental Jubileum itu pun dilakukan dengan mencoba menyentuh segala lini pelayanan. 
Kiri-Kanan:
Pdt. Osten Matondang (Pimpinan Panti Karya Hephata)
Pdt. Eden Siahaan (Kepala Biro Caritas dan Emergency)
Pdt. Balosan Rajagukguk dan Isteri (Mantan Pimpinan Hephata)
Pdt. Pahala Simanjuntak (Direktur Sekolah Pendeta)
Salah satu usaha untuk mewujudkan tindakan monumental itu pun dengan mengadakan Rapat Konsultasi Nasional Departemen Diakonia HKBP sebelum perayaan Jubileum 150 tahun. Sebelum rapat konsultasi nasional itu diselenggarakan, maka setiap unit yang berada di bawah naungan Departemen Diakonia HKBP perlu mengadakan Rapat Pra-Konsultasi Nasional. Maksudnya adalah agar setiap unit tersebut dapat merumuskan hal monumental apa yang bermakna dan dapat dilaksanakan oleh setiap unit sebagai ucapan syukur atas 150 Tahun Jubileum HKBP yang sifatnya monumental bukan sekadar seremonial. Demikian juga Panti Karya Hephata HKBP, sebagai salah satu unit di Caritas & Emergency yang merupakan salah satu biro di bawah naungan Departemen Diakonia HKBP juga mengadakan Rapat Konsultasi.
Atas berkat kasih karunia Tuhan melalui para hamba-hamba-Nya yang selalu mendukung dan mendoakan Panti Karya Hephata, maka pada tanggal 05-06 Mei 2011, Panti Karya Hephata bisa melaksanakan Rapat Konsultasi dengan tema yang sesuai dengan Visi Panti Karya Hephata, “Terwujudnya Para Diffabel yang Berdaya secara Holistik, Mandiri dan Inklusif”. Dalam rapat konsultasi ini, Panti Karya Hephata, menghadirkan peserta dan pembicara dari beberapa daerah di luar Sumatera Utara (termasuk Jakarta). Terkait dengan usaha pengembangan pelayanan Panti Karya Hephata HKBP beberapa para pembicara itu adalah: Pdt. Balosan Rajagukguk dengan pokok bahasan Panti Karya Hephata HKBP pada Tahun’80an; Dr. Saharuddin Daming, SH, MH yang merupakan seorang tunanetra yang melayani sebagai Komisioner Komnas HAM dengan pokok bahasan Peluang & Tantangan Pelayanan Dari, Oleh dan Untuk Para DiffabelPdt. Dr. Apeliften Sihombing dengan pokok bahasan Gereja dan Pelayanannya bagi yang membutuhkan Perhatian Khusus (diffabel); Pdt. Nelson F.Siregar dengan pokok bahasan Jubileum 150 Tahun HKBP dan Pelayanan terhadap Orang yang TerpinggirkanDrs. Tunggul Sianipar yang merupakan perwakilan dari Kementerian Sosial Republik Indonesia, dengan pokok bahasan Peranan Kementerian Sosial RI terhadap pelayanan diffabel.
Kiri-Kanan: 
Pdt. Osten Matondang (pimpinan Panti Karya Hephata), 
Pdt. Eden Siahaan (Kepala Biro Caritas & Emergency), 
Dr. Saharuddin Daming, SH, MH (Komisioner Komnas HAM), 
Pdt. Armada Sitorus (Phraeses Tebing Tinggi), 
Pdt. Alaris Sinaga (Pelaksana Pimpinan Panti Asuhan Elim)
Rapat Konsultasi ini dihadiri lebih dari 70 peserta yang berasal dari berbagai daerah yang ada di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa yang terdiri dari berbagai elemen, baik dari gereja, pekerja sosial, maupun pemerintahan. Pada Rapat Konsultasi itu pun hadir utusan pemerintah setempat, yaitu Drs. Sakkap Pasaribu selaku Kepala Dinas Sosial Kabupaten Toba Samosir. Beliau menyatakan, ”Pelayanan Panti Karya Hephata sudah sangat baik dan bisa menjadi contoh bagi panti-panti lain. Bahkan dengan pelayanan seperti ini, pemerintah melalui Dinas Sosial mau menjalin kerjasama dengan Panti Karya Hephata lebih lagi, mungkin kerjasama tersebut dapat dituangkan dalam pembuatan MoU demi kemandirian para diffabel”.
            Hasil dari Rapat Konsultasi Panti Karya Hephata yang bisa menjadi sangat monumental adalah perlunya pengembangan pelayanan secara monumental terkait dengan Jubileum 150 Tahun HKBP, terlebih tahun ini juga Panti Karya Hephata genap berumur 88 Tahun. Pengembangan pelayanan itu adalah dengan memperluas wilayah pelayanan, bahkan bila perlu perluasan pelayanan itu dilembagakan (cabang Hephata). Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkannya di setiap Distrik HKBP. Selain itu perlu juga membuat lembaga advokasi untuk pelayanan Panti Karya Hephata di setiap distrik yang terdiri dari teolog, psikolog, akademisi, pekerja sosial dan para ahli yang terkait dengan pelayanan para diffabel.
Suasana Rapat Konsultasi yang dihadiri lebih dari 70 orang peserta
dari beberapa wilayah yang ada di Pulau Sumatera dan Jawa.
          Doakan dan dukung terus pelayanan Panti Karya Hephata agar lebih berkembang dan lebih luas lagi ke daerah-daerah lain tidak hanya di wilayah Toba. Hal ini dikarenakan masih banyak para diffabel di wilayah lain yang belum merasakan kasih Tuhan melalui pelayanan langsung kepada mereka masing-masing. Selain doa, tentu saja realisasi ini, khususnya pembukaan cabang Hephata, perlu dukungan pikiran, tenaga, maupun yang lainnya dari berbagai pihak, baik para pemerhati Panti Karya Hephata, gereja-gereja (khususnya HKBP), lembaga-lembaga sosial dan instansi-instansi pemerintah di berbagai daerah. Semoga semua hasil Rapat Konsultasi Nasional ini dapat terealisasi dengan segera sesuai kehendak Tuhan Sang Maha Kuasa.