Jumat, 08 Juli 2011

Hidupku Beruntung di Hephata

Hidupku Beruntung di Hephata
By: Putra Ngolu Simatupang
Inilah aku..
Awalnya aku bingung dengan hidupku
Ke mana aku sekolah?
Di mana sekolah yang mau menerimaku?
Sejak lahir aku tak dapat berjalan
Tidak ada sekolah yang mau mengajariku
          Aku diajak ke Panti Karya Hephata
          Awalnya aku tidak senang
          Aku takut jauh dari orangtua
Tapi di Hephata aku punya banyak teman
Ada orang-orang seperti orangtua kita sendiri
Seperti kakak kita sendiri
Seperti abang kita sendiri
Seperti adik kita sendiri
          Banyak perubahan yang ku tahu di Hephata
          Aku sudah bisa membaca dan menulis
          Aku sudah bisa menyulam
          Aku sudah bisa mengerjakan keterampilan yang lain
Aku bersyukur memiliki rumah yang bagus di Hephata
Aku bersyukur memiliki gereja tempatku beribadah
Aku bersyukur memiliki tabungan untuk masa depanku
          Aku ingin kalau aku besar nanti, 
          aku mengerti bagian elektronika
          Supaya aku bisa menjaga adikku
          Aku bersyukur kepada Tuhan
          Karena di Hephata, aku bisa berkarya

Sekilas Tentang Putra Ngolu Simatupang
Putra Ngolu Simatupang adalah salah satu binaan Panti Karya Hephata yang memiliki jenis diffabel Tunadaksa. Saat ini Ngolu berumur 11 tahun dan pada saat ini dia naik kelas 4 SDLB-D. Dia bercita-cita mampu untuk memperbaiki segala macam elektronik, hal ini supaya dia bisa menjaga adiknya Pangihutan Simatupang yang merupakan binaan Panti Karya Hephata juga yang memiliki jenis diffabel tunagrahita. Tuhan Memberkati Cita-cita dan Harapan Putra Ngolu Simatupang agar semakin nampak Kuasa Tuhan melalui kehidupannya.

Kamis, 07 Juli 2011

LIDI YANG BERCERITA

(sebuah refleksi dari keterampilan membuat sapu lidi)


Kisah unik diawali pada akhir Maret 2011. saat dahan-dahan aren dirindukan menjadi sahabat mengisi hari-hari bersama para binaan PK hephata. Dahan-dahan aren seperti mengajak setiap binaan mengukir hari sambil bercengkerama di ruang keterampilan PK Hephata.
            Wajah ruang keterampilan tersenyum kala setiap anak tiba bermain dengan imanjinasi yang tertuang. Binaan dan pembina beriringan menggandeng dahan-dahan aren bercerita.
            ”kak, apa kita tidak berdoa dulu?”, tanya Lilis (tunanetra). Setiap binaan kemudian menggenggam sahabat barunya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Lilis dengan senyum syukur memulai kegiatan dengan berdoa.
Ayunan tangan dimulai dengan sebilah pisau kecil. Para binaan mulai berkata, “biarlah dahan atau daun aren ini melambaikan ayunannya sendiri. Karena lidi yang tersemat di tengahnya akan mempersulit lambaian lembutnya. Dan biarkan jugalah lidi merasakan kokohnya sendiri, karena ayunan daun akan memaksa kekokohannya beralih.”
            Hati yang bersih mulai melakukannya. Mata jasmani boleh kering tidak mengenal rupa, namun daun aren membisikkan, “ambillah aku untukmu dan akupun dengan senang hati mengikutimu”. Walau tenaga tak penuh tersimpan seperti di tangan pembajak sawah, namun daun aren mengarahkan, “marilah tuaian Pencipta, genggam aku dengan lembutmu itu, dan aku akan mengikutimu”.
            Perjalanan kebersamaan tidak selalu bertahtakan taburan bunga-bunga segar, karena terkadang dedaunan layupun turut berhamburan bersamanya. James Pakpahan (tunadaksa) menghela nafas tanda jerih payahnya berjuang keras, “kapan kau habis lidi?”. Daun aren dan lidi berbisik, “kau akan sangat merindukanku sampai walau bagaimanapun kau akan tetap menemuiku”. James mulai menuntut pada Pembina, “mana gajiku Rp.1000,- !!”. sang Pembina tersenyum geli dan berkata, “lidi-lidi ini telah memberimu 1000 tawa, 1000 rasa kantuk, 1000 rasa cemburu, 1000 kepuasan, 1000 kecemasan, 1000 angan-angan, dan bahkan 1000 penantian”. James hanya tertawa diikuti sekeping roti yang masuk ke mulutnya untuk mendapatkan 1000 kepuasannya.
            Hari semakin siang dan minggu-minggu dilalui bersama dengan ayunan jemari yang berebutan dengan pisau kecil mendapatkan perhatian dahan dan lidi. Imajinasi Rugun Panjaitan (tunagrahita) melambung tinggi menatap kekeringan musim kemarau. Dahan lidiku yang malang. Setiamu hingga menguning layaknya sahabat yang terpaku mendengarkan curahan kesedihan. Rugun mengajak dahan lidi bermain dengan membasahi sekujur dahan dan lantai ruangan dengan air seninya yang ia sendiri tidak mengerti dari mana datangnya.  Dahan aren, lidi, binaan dan Pembina hanya menatap terpaku, “bukankah aromanya sangat tidak sedap???”. Saat bermain adalah saat berimajinasi.
            “na…na…naaa”, untaian nada-nada Riani (tunagrahita) diiringi gemulai daun aren turut menari, seakan cerita mereka tak pernah habis membawa senyuman.
            “hei kenapa layu daun aren ini?” perhatian Ruslan (tunanetra) tertuju pada daun aren yang digenggamnya. Daun aren menoleh dan berkata, “terima kasih atas perhatianmu, aku mengira kau telah melupakanku”.
Sejenak beristirahat. Dapot Marpaung (tunagrahita) berikhlas hati melayani tanpa pamrih. Mengantarkan air untuk membasuh tangan-tangan indah buatan Sang Pencipta. Bersama menikmati kepuasan dari berkat-berkat Tuhan. Bersama menghela nafas berharap cerita ini akan berlanjut bahkan dirindukan. Pembina mengarahkan mari membersihkan diri, mari menata hati, supaya kita boleh kembali lagi, melepas cerita bersama lagi.
“jangan pulang dulu, lidiku belum banyak”, kata Sabar (tunaganda -tunadaksa + tuna grahita). Lidi mulai tergelitik, ”marilah tinggal denganku”...
Lidi yang telah bersih dari daun tersenyum malu saat satu sama lain diikat bersama dalam persaudaraan yang amat baik seperti persaudaraan yang terjadi di PK Hephata.
Keterampilan membuat sapu lidi boleh dipandang sederhana dan tidak ada istimewanya, tetapi pandang dan rasakanlah ketulusan dan kepolosan hati yang melakukannya, maka kita akan semakin belajar caranya bersyukur kepada Sang Pecinta.
Rosnila Sihombing
Pembina Bina Karya