Selasa, 13 November 2012


cerita kami
JHON PANDI SILABAN

Aku adalah anak pertama dari empat bersaudara, kakak bagi adik-adik yang aku kasihi. Aku lahir layaknya anak lain yang sehat bahkan sampai pada usiaku 3,5 tahun. Aku adalah seorang balita yang lincah dan girang, tetapi di usiaku yang balita itu aku mengalami penyakit campak yang tidak tertangani dengan baik yang kemudian menjadikan aku difabel tuna netra. Sejak saat itu, aku tidak lagi dapat melihat keindahan dunia dengan kedua mataku.

Meski demikian, aku tetap bersyukur karena aku memiliki keluarga yang selalu mengasihi aku. Kondisi ekonomi keluarga kami yang terhitung rendah tidak menghalangi aku  merasakan kehangatan di tengah keluarga, terlebih kasih sayang dari seorang ibu yang sangat tulus kepada putranya yang difabel ini. Mereka memberikanku kesempatan untuk beraktivitas seperti anak-anak lainnya. Aku tetap bisa bermain dengan teman seusiaku. Aku diajari mengisi hari-hariku dengan berbagai aktivitas yang berguna seperti mengolah daun kelapa menjadi sapu lidi dan juga mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Kasih sayang penuh serta pengajaran dan pembinaan yang cukup selama 13 tahun bersama mereka, membuatku tidak kaku dalam beraktivitas.

Suatu ketika seorang biblevrouw yang melayani di Sibolga tempat kelahiranku memperkenalkan kami dengan Panti Karya Hephata sebagai tempat rehabilitasi bagi para difabel. 1 Mei 2001 adalah hari pertama bagiku menginjakkan kaki di Hephata dan terdaftar sebagai anggota keluarga Hephata. Saat itu aku datang dengan perasaan takut selayaknya seorang anak remaja yang akan menjalani kehidupan di komunitas yang benar-benar baru baginya. Awalnya terasa sangat sulit bagiku, apalagi karena harus tinggal terpisah dari keluargaku, khususnya dari ibunda yang selalu setia menemani dan membimbingku. Butuh waktu yang cukup lama bagiku untuk beradaptasi dengan lingkungan baruku di Hephata, tetapi seiring berjalannya waktu akupun menikmati hari-hariku di Hephata. Aku semakin betah dan menganggap komunitas Hephata sebagai keluarga keduaku. Dan…. akhirnya aku mencintai Hephata.

Di Hephata aku menduduki bangku sekolah dan di Hephata juga aku dilatih berbagai keterampilan termasuk musik yang menjadi bagian dari hari-hariku. Ketertarikanku pada permainan musik baru dapat kuwujudkan ketika aku telah berada di Hephata. Aku sering mengisi waktuku dengan latihan bermain musik, khusunya organ dan keyboard. Aku bersyukur karena ketika itu pimpinan Hephata yakni Pdt. B.Bakkara selalu memberikan kami kesempatan untuk memainkan alat musik ditambah lagi Gr. Aritonang yang juga mengajari dan membantu mengembangkan pengetahuan musik kami. Ternyata ketertarikanku pada musik, keseirusanku berlatih dan dukungan staf Hephata membuahkan hasil yang nyata bagiku. Demikian aku memahami proses perkembangan pengetahuanku dalam musik yang memang masih harus selalu kutingkatkan.

21 Agustus 2002 adalah awal dibentuknya team musik PK. Hephata dengan diprakarsai oleh Pdt. B. Bakkara dan Gr. Aritonang. Ketika itu kami terdiri dari 6 personil, 4 di antaranya bermain musik dan 2 orang penyanyi. Aku sangat senang, terlebih lagi karena satu dari penyanyinya adalah teman hidup yang aku cintai, ibu dari 3 orang anakku. “Lenta Siringoringo” namanya, seorang difabel tuna netra yang gemar menanam berbagai jenis bunga. Istriku telah menjadi anggota keluarga Hephata sebelas tahun lebih awal dariku yakni sejak tahun 1990. Pertemuanku dengannya di Hephata semakin melengkapi kebahagiaanku, disamping pengetahuan dan persahabatan yang sudah membahagiakan aku sebelumnya.

Ada begitu banyak hal yang aku suka di dalam kebersamaan team musik. Aku bisa merasakan perjalanan ke berbagai daerah dan menghibur banyak orang dengan permainan musik kami. Meski demikian, aku tetap menyadari masih banyak tehnik yang harus kami pelajari untuk lebih memantapkan permainan musik kami. Aku mempunyai mimpi yang besar terhadap perkembangan team musik Hephata. Aku juga mengharapkan adik-adik difabel lainnya dapat menjadi generasi penerus team musik ini. Hal ini sangat penting karena sebagian besar anggota team musik adalah klien pra-mandiri yang diharapkan akan dapat mandiri dan kembali hidup di tengah-tengah masyarakat. Atas dasar pemikiran itu, dengan serius aku dengan didampingi staf Hephata memberikan waktu dan hatiku untuk mengajari adik-adik difabel yang memiliki kecintaan dan keseriusan terhadap musik. Saat ini aku melatih 4 orang adik difabel dalam permainan musik keyboard dan organ dengan fokus musik gerejawi. Mereka adalah Lilis Rajagukguk, Rindu Panjaitan, Saritua Munte dan Harjono Rajagukguk, keempatnya adalah difabel tuna netra. Demikian aku mengisi waktu luangku jika aku tidak sedang sibuk mengurus ternak (babi) dan melakukan perkejaan rumah (memasak, membersihkan rumah dan membantu istri mengurus anak-anak). 

Meski aku memiliki keterbatasan dalam penglihatanku, aku tetap memiliki impian. Kasih sayang yang aku terima dari keluargaku semasa tinggal bersama mereka merupakan kekuatan yang sangat besar bagiku. Aku merindukan akan ada banyak orang menerimaku dengan apa adanya aku. Jika suatu ketika nanti aku mandiri, aku berharap kembali ke tengah masyarakat yang tidak lain juga rumah dan komunitasku, dimana di tengahnyalah aku beraktivitas dan benar-benar menjadi bagian dari masyarakat. Aku merindukan keterbukaan setiap orang untuk menerima difabel dengan anggapan bahwa mereka tidak lebih rendah dari yang lainnya, memahami bahwa difabel hanya soal keberagaman. 

Orang-orang yang mendukungku adalah kekuatanku menjalani hidup sehingga aku yang tidak mampu melihat dengan menggunakan kedua mata tetapi dapat melihat dengan hati bahwa ternyata dunia ini indah. Ketenangan dan kenyamanan hatiku bersama orang-orang yang mendukungku memampukan aku melihat dengan hati bahwa dunia ini indah dan bahwa hidupku indah seindah iringan musik yang dimainkan team musik Hephata. (RJS)
       

REKREASI ANAK-ANAK ASRAMA YOHANES: BONAPASOGIT GO GREEN

The more we get together, together  together
The more we get together, the happier we’ll be
For your friends are my friends
and my friends are your friends,
The more we get together, the happier we’ll be.

Sebait lagu ini berkumandang dari mini bus Panti Karya Hephata pada pagi hari di tanggal 22 Agustus 2012, saat Hephata akan mengadakan rekreasi anak ke desa Bakara. Rekreasi kali ini kami kombinasikan dengan kegiatan bakti sosial yakni penanaman pohon di beberapa tempat yang kami lintasi. Hephata berharap ini menjadi suatu pengajaran yang baik bagi anak-anak difabel bahwa “meski memiliki keterbatasan, mereka tetap dapat melakukan tindakan yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat”. Bagasi bus Hephata telah padat  dengan berbagai jenis pohon yang akan ditanam. Jumlah pohon yang kami bawa adalah sejumlah peserta yang ikut yakni 31 orang. Perhentian pertama kami adalah di lokasi HKBP Siborongborong; di sana kami menanam 5 batang pohon. Lokasi HKBP Pakkat Dolok menjadi tempat perhentian kedua kami dan di sana kami menanam 8 batang pohon. Masih dengan semangat dan hati riang kami melanjutkan perjalanan sampai pada perhentian ketiga yakni lokasi HKBP Sosorgonting. Di sana kami menanam 7 batang pohon.

Lalu, tibalah saatnya bagi kami untuk turun ke Bakara. Akhirnya,, wah….. dari jalan yang berada dipertengahan tinggi gunung yang mengitari desa Bakara, kami dapat melihat dan menikmati keindahan “rura Bakara”, desa yang diapit oleh gunung di ketiga sisinya dan danau di salah satu sisinya. Sesuai skedul yang telah kami rancang, kami menghabiskan waktu selama 45 menit untuk berjalan kaki manapaki jalan. Anak-anak sangat menikmati perjalanan tersebut sambil sesekali mengatur gaya ketika ada jepretan kamera. Kondisi jalan yang agak sempit ditambah lalu lalangnya beberapa kendaraan membuat para pengawas harus mengawasi anak-anak dengan perhatian penuh. 

Dengan hati riang, kami kembali menaiki bus setelah puas berjalan kaki selama 45 menit. Kami memilih lokasi di dekat danau toba sebagai tempat kami menikmati makan siang bersama. Suasana alam yang begitu indah dan menyenangkan membuat kami tidak begitu menghiraukan teriknya matahari siang itu. Acara makan siang, kami lanjutkan dengan acara “unjuk bakat” yang tadinya tidak direncanakan. Pdt. Osten Matondang mengajak seluruh anak-anak untuk bernyanyi secara bergiliran dan mereka menyambutnya dengan sangat antusias, bahkan ada yang ingin mengulangi lagi gilirannya. Mereka terlihat sangat gembira dan bersemangat. Tidak lupa, di tempat tersebut kami juga menanam sebatang pohon sesuai permintaan penduduk di sekitar. 

Perjalanan berlanjut ke lokasi pemandian Aek Sipangolu. Ini saat yang seru untuk “perang air”. Semua anak sangat gembira bermain di dalam air. Nurni Siahaan, salah seorang pengasuh memimpin kami dalam permainan “Samson and Delila” di dalam air. Anak-anak terlihat sedikit kebingungan, tetapi itu tidak mengurangi keceriaan kami, karena kami semua justru malah sangat menikmatinya kekacauan permainan itu… hahaha…

Setelah puas menikmati keceriaan di dalam air, kami berkunjung sejenak ke rumah Juliana Sinambela, salah seorang staf. Di sana kami berbincang-bincang dengan keluarga Juliana, keluarga Lilis Rajagukguk (klien yang berasal dari Bakara), Pdt. Bintan Siagian yang melayani di HKBP ress. Bakara, dan punguan NHKBP Marbun.  Di sana kami sempatkan menanam 3 batang pohon serta meninggalkan 7 batang pohon untuk mereka tanam sendiri karena mereka masih harus mempertimbangkan lokasi penanamannya.

Kami sangat menikmati rekreasi tersebut, dan semakin bahagia karena kami dapat melakukan sebuah bakti sosial. Kami memang belum menanam sejuta pohon untuk bumi, tetapi kami sudah memulainya. Kami bangga karena telah berusaha memberi makna pada lingkungan. Tindak lanjut dari kegiatan ini adalah mengunjungi kembali lokasi-lokasi yang menjadi tempat penanaman pohon-pohon itu untuk memastikan apakah pohon itu tumbuh dan berkembang dengan baik, yang tentunya sambil membawa cadangan pohon kalau-kalau ada pohon yang gagal bertumbuh dalam jangka waktu setelah 3 atau 4 bulan kemudian. Semoga pohon-pohon itu bertumbuh dan berkembang dengan baik! (SM)

MASIH MENANTI MERDEKA???

17 Agustus tahun 45, itulah hari kemerdekaan kita…” demikian penggalan lirik lagu kebangsaan Indonesia yang selalu bergema  dalam setiap perayaan hari kemerdekaan RI. Serentak seluruh warga Indonesia bersama-sama merayakan kemerdekaan ini. Bendera, umbul-umbul terpasang berjejeran disepanjang jalan, sekolah, rumah, instansi dan pada berbagai jenis kendaraan. Rasa gembira dan senang terpancar di wajah setiap orang. Berbagai lomba dan kegiatan turut mewarnai perayaan kemerdekaan RI yang ke 67 tahun sekaligus  menyatukan perbedaan di antara keberagaman yang ada.  

PK Hephata juga turut merasakan kegembiraan pada perayaan HUT RI yang ke 67 tahun. Kegembiraan ini terpancar melalui berbagai perlombaan  yang dipertandingkan untuk merayakan hari itu. Anak-anak difabel tertawa bersama merasakan hangatnya tali persaudaraan. Tidak ada perbedaan: tunanetra, tunarunguwicara, tunadaksa, tunagrahita, tunaganda, antara pengasuh dan klien, semuanya menyatu dengan indah. Namun, apakah tawa dan bahagia ini hanya bisa mereka rasakan di sebuah panti di antara sesama para difabel? Jika ini yang mereka alami, mereka memang belum merdeka dan belum mendapat penerimaan sebagai manusia secara utuh dan menyeluruh dari masyarakat luas. Mereka ingin merdeka, menikmati hidup yang sama sebagai warga bangsa tanpa adanya pembedaan dan pe-ngalaman disingkirkan dari keluarga dan masyarakat.

“Alangkah bahagianya jika kami para difable diberi kesempatan yang sama sebagai warga negara RI. Andai saja kami bisa mendapatkan penerimaan yang baik di komunitas keluarga, masyarakat umum, pemerintah, gereja dan institusi pendidikan umum sebagai orang-orang yang berkebutuhan khusus. Kami akan merasa bahwa kami adalah bagian dari warga negara RI yang telah merdeka. Apalagi jika tersedia fasilitas dan aksesibilitas yang sesuai dengan kebutuhan kami. Setiap tahun suara kemerdekaan itu selalu bergema dan dirayakan, saat-saat itu juga kami bermimpi akan kemerdekaan kami yang sesungguhnya. Akankah kerinduan dan mimpi kami dapat terwujud ketika gema kemerdekaan itu terdengar kembali?”

Itulah kerinduan yang sudah tertanam lama di lubuk hati para difabel. Kemerdekaan akan terasa bagi mereka bila berbagai pihak peduli dan bersolidaritas terhadap mereka atas kebutuhan khusus mereka. Sekarang mereka sedang berjuang keras bagi kehidupan mereka. Kiranya setiap pembaca tersentuh hatinya untuk ikut ambil bagian dalam memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia. Bersama-sama dengan mereka mari wujudkan nyatakan gema “Merdeka! Merdeka! Merdeka!” dalam hidup mereka.(MH)
                                                                                                                                                               

Senin, 12 November 2012


KEMITRAAN DENGAN UEM JERMAN
Hadirnya Stefan Kolonko di Hephata

Melalui daftar pilihan lokasi praktek yang ditawarkan oleh United Evangelical Mission (UEM), Stefan Kolonko seorang mahasiswa Universitas Fachhochschule der Diakonie memilih praktek lapangan di Panti Karya Hephata. Dia mengaku tertarik memilih Hephata, karena di Hephata ada program pengembangan sektor pertanian dan peternakan sebagai bina karya terhadap difabel. Di samping kesibukan belajar, dia juga menjadi tenaga pekerja sosial di Lebenshilfe, salah satu institusi rehabilitasi terhadap difabel di Jerman. Dia menjalani masa praktek lapangan selama 6 minggu (4 Juli-15 Agustus 2012) di Hephata. Selama di Hephata, dengan serius dia mengikuti setiap program sesuai jadwal yang telah diaturkan bidang administrasi Hephata, yakni pengasuhan di asrama, bina karya kerajinan tangan, pertanian - peternakan, pendidikan dan Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) .

Perbedaan bahasa tidak mengurangi keakraban para klien dan staf Hephata dengannya. Menjadi kebersamaan yang sangat indah ketika para staf dapat berbagi pengalaman kerja dengannya. Sebagai pekerja sosial yang telah berpengalaman dan berpendidikan, dia banyak membagikan ilmu yang berharga yang dapat meningkatkan kinerja pekerja Hephata dalam pe-
ngasuhan.

“Setiap orang butuh didengarkan. Setiap orang memiliki keinginan dan kebutuhan. Tidak ada bedanya bagi difabel, bahkan yang retardasi mental berat sekalipun, mereka juga punya keinginan dan kebutuhan. Oleh karena itu, kita harus memberikan hati mendengarkan kehendak dan kebutuhan mereka. Setiap tindakan yang akan kita lakukan kepada mereka perlu dikomunikasikan dengan sebaik-baiknya, meskipun mereka tidak merespon dengan sebuah ungkapan bahasa dari mulut mereka. Dalam setiap pengambilan keputusan tentang mereka pun, kita perlu melibatkan mereka. Jangan melakukan terlalu banyak hal untuk mereka, tetapi ajarkanlah mereka melakukannya sendiri bagi diri mereka sendiri. Bantulah mereka sebatas kebutuhan mereka untuk dibantu. Berusahalah mempelajari dan mempraktekkan metode menarik perhatian mereka tanpa harus dengan suara keras-keras dan main tangan kepada mereka. Sesekali, ajaklah mereka melihat realita kehidupan yang lebih luas karena mereka juga butuh penyegaran pikiran..” Demikianlah beberapa point diskusi yang ditawarkannya bagi kami saat sedang bertukar pengalaman.

Ketika mengadakan kunjungannya ke RBM Hephata di Sibolga dengan didampingi Sabrina Manalu (staf Hephata yang menjadi guide), dia mengaku sangat kagum dengan kinerja Biv. Rosderi Sibarani, seorang pekerja lapangan RBM Hephata di Sibolga. Bibelvrow tersebut tetap bekerja keras melakukan kunjungan dan memberikan pengaruh positif bagi rehabilitasi yang dilakukan pada para difabel yang ada di Sibolga sekalipun dana RBM Hephata saat ini sedang terkendala. Di samping itu Stefan juga sangat mengapresiasi kinerja para pengasuh di Hephata. Dia menyatakan bahwa mereka adalah pengasuh-pengasuh yang sangat tangguh, karena harus bekerja 24 jam. Namun, tidak lupa dia memberikan masukan bahwa pengasuh juga memerlukan free time. Hal inilah memang yang menjadi pergumulan Hephata, yakni perekrutan tenaga pengasuh yang memiliki skill.

Di kemudian hari, setelah dia kembali ke Jerman, dia menuliskan kalimat-kalimat berikuti ini di inbox  facebook Hephata;

 “…Hi, my name is Stefan Kolonko and I´m from germany. I`m a professionel caretaker and study socialmanagement.I worked six weeks in Hephata and enjoyed this time very much! The most important thing for institutions is that the people who live and work there are happy. I can truly say that the clients in Hephata are very happy and I observe this everyday. The worker also have a very high spirit and do their very best. They are highly motivated to learn how to treat the clients and they need a lot of more informations, so that they can perfectionise it more and more. They have good dreams and visions. They think about all stakeholders and reflect their word in meetings. That means the structure (very importants for germans smile) is there, they only need to go on! I hope I can visit Hephata again and see if they get their goals. I think they will! God is with you and likes what you do for the clients everyday…” . (SM)