Selasa, 31 Mei 2011

Hartono Simatupang (Little Drummer Boy)

Hartono Simatupang
 Remaja kelahiran Sorkam 2 Februari 1997 ini piawai bermain drum. Hal ini pulalah yang menjadi cita-cita PK. Hephata, yaitu menjadikan para klien (para diffabel-different ability) mengenal diri sendiri dan melihat potensi yang ada pada dirinya. Tono (demikian sapaan akrab baginya) terbilang aktif dalam semua kegiatan yang diadakan oleh PK. Hephata. Hartono masuk ke PK Hephata pada usia 10 tahun dengan jenis diffabel A yaitu Tuna Netra. 

Hartono dan Keluarganya
Rumah Hartono








Memasuki masa remajanya, Tono pernah meminta agar PK. Hephata memulangkannya. Awalnya setelah dia berada di PK Hephata selama 7 tahun, PK Hephata pernah membawanya mengunjungi rumahnya namun hanya tiga hari lamanya. Baginya hal itu terasa kurang di samping alasan lain yang cukup unik yaitu rindu akan kebiasaan-kebiasaan di rumahnya. Salah satunya adalah rindu untuk makan martabak yang setiap minggu selalu diberikan ibunya kepadanya sepulang dari onan (pekan_red). Alasan lain adalah dia berkeinginan untuk memiliki handphone sebagai sarana untuk berkomunikasi dan belajar musik (mengingat dia adalah seorang drummer di PK. Hephata). Hal ini berkali-kali diutarakannya dan memberi semacam ”somasi” jika hal itu tidak dipenuhi maka dia memaksa agar PK. Hephata memulangkannya. Akhirnya PK. Hephata mengambil keputusan untuk memberikannya kesempatan untuk pulang dan tinggal di rumah selama yang dia inginkan (dengan catatan: bukan mengeluarkannya dari PK. Hephata). Selama kurang lebih dua bulan berada di rumahnya, ternyata dia merasa PK Hephata merupakan rumah terbaik baginya. Dia menuturkan, rindu akan semua kegiatannya yaitu bersekolah, bermain drum dan bermain piano. Akhirnya sampai saat ini, Tono menjadi salah satu diffabel yang menjadi andalan PK. Hephata di bidang Bina Karya, khususnya bidang musik. 

Biarlah pukulan-pukulan kecil drum Tono menjadi pujian yang besar bagi kemuliaan nama TUHAN.
Tuhan Memberkati Kita Semua!

Rabu, 25 Mei 2011

Para Diffabel Sebagai Imago DEI

Para Diffabel sebagai Imago DEI

Pendahuluan
Siapa manusia itu? Pertanyaan ini sangatlah eksistensial sehingga setiap orang pastilah bertanya tentang hal yang sama dalam perjalanan hidupnya. Setiap aktivitas dan pergerakan hidup manusia bertujuan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Manusia ingin tahu siapa dirinya dan untuk apa ia hidup. Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan tadi telah diberikan oleh berbagai pihak sepanjang zaman, baik secara filosofis ataupun teologis. Namun jika dipandang dari iman Kristen sudah sangat jelas, bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang Imago DEI.

Manusia Sebagai Ciptaan Allah
Manusia (laki-laki dan perempuan) adalah mahkota ciptaan. Manusia adalah makhluk yang paling utama diantara makhluk yang lainnya. Pernyataan ini memiliki dasar yang sangat kuat dalam Perjanjian Lama. Hal ini terlihat dalam Perjanjian Lama (Kejadian 1-2) yang seakan-akan menunjukkan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh dan untuk manusia. Kisah Kejadian 1:1-2:4a menceritakan kisah penciptaan langit, bumi, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang, yang kemudian pada puncaknya penciptaan manusia. Dalam Kejadian 1:26 dan 2:7 kisah penciptaan manusia adalah sebuah keputusan yang disengaja dan tindakan nyata dari Allah. Hal ini menunjukkan bahwa penciptaan manusia adalah bagian dari rencana Allah. Kisah penciptaan manusia dalam Kejadian 2 menceritakan tentang Allah yang membentuk manusia dari debu tanah yang dibasahi oleh kabut dan diberi nafas hidup, sehingga manusia menjadi makhluk yang hidup. Kisah ini sangat menggambarkan karya Allah yang sangat besar dalam hidup manusia.
Manusia bukan allah atau ilah. Ia juga bukan makhluk ilahi. Ia tidak berasal dari dan tidak dilahirkan oleh Allah, tetapi ia diciptakan oleh Allah, dibentuk oleh Allah.  Mengenai ajaran tentang manusia, Alkitab sangat realistik dengan mengatakan bahwa manusia adalah ‘debu’ yang menggambarkan manusia sebagai makhluk yang fana. Namun, hal ini tidak serta merta menunjukkan bahwa manusia tidak ada bedanya dengan makhluk yang lain. Manusia tetaplah berbeda, sebab manusia diciptakan sebagai gambaran Allah. Jadi, manusia bukanlah makhluk yang memiliki sifat ilahi namun juga tidak sama dengan makhluk-makhluk yang lain. Manusia tidak berasal dari dunia binatang, dan ia tidak bercampur dengan mereka.
Begitu pentingnya manusia bagi Allah sehingga Ia menciptakan manusia dengan khusus. Allah menciptakan manusia dalam dua hal yaitu, tubuh dan jiwa. Tubuh dan jiwa adalah dua hal yang bertentangan namun dapat bertemu dalam diri manusia. Keadaan manusia sebagai jiwa dan tubuh mencerminkan pertemuan antara langit dan bumi, Khalik dan makhluk. Dalam hal ini, laki-laki menjadi lambang Khalik dan perempuan menjadi lambang dari makhluk. Apa yang dirasa atau yang diperbuatnya sebagai jiwa adalah tak lain dan tak bukan yang dirasa dan diperbuatnya dalam tubuh. Kebersamaan kedua sifat ini merupakan salah satu unsur kesempurnaan dari segala makhluk hidup.

Manusia Sebagai Ciptaan yang Segambar dan Serupa dengan Allah
Di dalam tradisi teologi, humanum biasanya diartikan dengan gagasan manusia sebagai gambar Allah (imago DEI). Alkitab bersaksi bahwa Allah menjadikan manusia menurut gambar (tselem) dan rupa (demuth) Allah (Kej. 1:26-27). Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk yang lain. Makhluk-makhluk yang lain tidak diciptakan menurut gambar Allah. Makhluk-makhluk yang lain itu diciptakan “menurut jenis” mereka.
Manusia diciptakan menurut “gambar Allah” yang ditafsirkan sebagai “pengertian-relasi”, yaitu bahwa gambar Allah adalah ungkapan atau pengertian untuk relasi khusus yang terdapat antara Allah dan manusia dalam pertemuan mereka. Dalam pertemuan itu Allah berkata-kata kepada manusia dan manusia memberikan jawaban kepada Allah. Jawaban manusia itu adalah jawaban yang bertanggung jawab.
Manusia diciptakan sebagai rekan sekerja Allah. Hal ini harus manusia nyatakan juga dalam hidupnya dengan makhluk-makhluk yang lain (mandataris Allah dalam dunia). Dalam hidupnya itu ia harus berlaku sama seperti Allah terhadap makhluk lain. Artinya ia harus memelihara mereka dari segala sesuatu yang membahayakan dan merusak hidup mereka, seperti kekacauan, pemusnahan, kematian, kebinasaan/kepunahan dan lain-lain. Manusia juga harus menciptakan bagi mereka kemungkinan dan ruang untuk hidup.
Gagasan dalam Kej. 1:16-17, menurut Barth, tubuh bukanlah sesuatu yang buruk atau sifatnya negative. Karena pada awal penciptaan, Allah telah membentuk tubuh (manusia) dengan sangat sempurna dan baik adanya sesuai gambaran/ citra diri-Nya, maka itu Allah mengatakan manusia ”amat baik”. Walaupun ada pandangan yang menyatakan tubuh adalah sesuatu yang telah ada sebelum manusia, dan tubuh menjadi menusia ketika roh/ jiwa ada di dalamnya. Namun bukan berarti yang satu dapat dipisahkan dengan yang lainnya, sehingga di antara segala bagian tubuh tidak ada yang sifatnya hanya badani belaka, yakni yang tidak rohani. Karena hanya dengan keduanyalah makhluk dapat hidup.

Para Diffabel Sebagai Imago DEI
Seperti kita tahu bersama, pada masa sekarang ini penyebutan kata cacat kepada ciptaan Tuhan ini sudah tidak relevan lagi. Kata cacat sendiri ketika disebutkan pada suatu benda pasti merujuk kepada sesuatu yang sudah rusak, tidak baik lagi, atau bahkan tidak layak digunakan lagi. Padahal menurut iman Kristen kita, setiap manusia diciptakan Allah segambar dan serupa dengan-Nya, konsep Imago DEI. Untuk itu akan lebih baik jika kita menyebut mereka dengan diffabel (different ability) maksudnya adalah dengan keterbatasan mereka secara fisik maupun mental, namun ada potensi dan kemampuan di dalam diri mereka yang berbeda dengan yang lain. Dengan demikian jika kita mengatakan ciptaan Tuhan ini cacat, itu berarti kita menghina karya Allah atau bahkan menghina Allah itu sendiri sebagai Sang Pencipta.
            Sungguh merasa bersyukur jika kita boleh merasakan pelayanan kepada para diffabel, khususnya pelayanan di Panti Karya Hephata. Hal ini menyadarkan kembali bahwa Allah ingin berkarya dan menunjukkan ke-Maha Kuasa-an-Nya melalui umat pilihan-Nya ini. Dalam sudut pandang manusia pada umumnya, para diffabel ini merupakan golongan yang terpinggirkan atau bahkan keberadaannya dianggap tidak ada. Dengan kondisi yang penuh keterbatasan mereka dapat melakukan apa yang dianggap hanya bisa dilakukan oleh manusia “normal”. Oleh karena itu dengan keberadaan mereka, setiap orang yang menganggap dirinya “normal” harus berpikir dan bekerja lebih keras lagi agar dapat mengimbangi karya para diffabel ini.
            Kenapa penulis berani menyatakan hal demikian, ini dikarenakan para diffabel dapat melakukan apa yang dianggap hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang menganggap dirinya “normal”. Panti Karya Hephata sendiri telah membina bahkan membentuk para diffabel ini menjadi kelompok-kelompok yang dapat menunjukkan potensi setiap para diffabel. Ada kelompok pemusik, koor, handycraft, pertanian dan peternakan. Dengan demikian setiap orang yang berkunjung dan melihat langsung keberadaan para diffabel ini di Panti Karya Hephata ini akan terkagum dan berpikir kembali untuk menyatakan mereka “orang cacat”.
Untuk beberapa tingkatan dan jenis diffabel sesungguhnya mereka tidak perlu perlakuan khusus, cukup dengan menganggap mereka tidak berbeda dengan kita itu sudah cukup menjadi motivasi bagi mereka dalam menjalani kehidupan. Dengan menganggapnya tidak berbeda, mereka akan bisa dan mampu menentukan tujuan hidupnya sesuai kehendaknya. Kalaupun mereka ada keterbatasan namun bukan itu menjadi kendalanya jika kita mampu menguatkan keberadaan mereka sesuai dengan dirinya masing-masing tanpa determinasi atau bahkan diskriminasi.
Panti Karya Hephata sudah berdiri dan melayani sejak 03 Desember 1923. Pada masa lalu pelayanan Panti Karya Hephata melayani para diffabel (different ability: kemampuan yang berbeda) dan Perkampungan Huta Salem adalah sebagai kembarannya yang telah berdiri sedikit lebih awal tahun 1900 oleh Zending Rheinische Mission Gesselchaft (RMG) yakni untuk pemeliharaan dan pengobatan terhadap orang-orang yang terinfeksi kusta. Pada beberapa tahun terakhir ini, pelayanan kepada orang Kusta di Huta Salem ditangani langsung oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dan Panti Karya Hephata lebih concern atau focus kepada pelayanan para diffabel, baik yang ada di asrama (sebagai institusi) maupun yang ada di luar kompleks Panti Karya Hephata (non-institusi).
Ada beberapa program yang dilakukan Panti Karya Hephata untuk mewujudkan kemandirian para diffabel, yaitu program asrama (yang disebut bina diri), pra-mandiri siloam dan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) di luar panti. Usaha pemandirian itu sendiri terkait dengan 3 aspek yang dapat menunjukkan perkembangan positif dan keberadaan esensial dari para diffabel, yaitu Bina Diri (menyangkut perkembangan kepribadian), Bina Mental (terkait dengan perkembangan pola pikir dan kesehatan mental) dan Bina Karya (terkait dengan perwujudan kemandirian dengan membentuk orang diffabel yang produktif dengan menghasilkan dan berkarya).
Dalam pelayanan asrama di Panti Karya Hephata, sekarang terdapat 85 klien diffabel (jumlah ini sering mendapat perubahan sesuai dengan proses rehabilitasi dan pemandirian yang terus-menerus berlangsung) kepada  klien yang memang harus ditangani langsung dan intens karena banyak di antara mereka yang memang tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Untuk pelayanan Pra-Mandiri Siloam, terdapat 11 Kepala Keluarga yang ke semuanya sudah mulai bisa mengurus diri dan keluarganya dengan cara bertani atau beternak, bermusik atau berkerajinan tangan. Hal produktif ini selain menjadi bentuk eksistensi mereka  juga menjadi kekuatan mereka secara finansial meskipun tetap dimonitoring oleh PKH, itu sebabnya mereka disebut Pra-Mandiri.
Untuk program RBM (Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat) atau program CBR (Community Based Rehabilitation), PKH mencoba melakukan usaha kemandirian klien dengan cara mendatangi langsung para klien ke tempat masing-masing tanpa harus mereka tinggal di dalam panti. Dengan 500an orang klien yang terdapat di beberapa kabupaten di Sumatera Utara (kabupaten Toba Samosir, kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Habinsaran, Kabupaten Tapanuli Tengan dan Kota Madya Sibolga), program CBR-RBM ini lebih concern terhadap tindakan advokasi kepada keluarga dan masyarakat di sekitar klien agar dapat memahami keberadaan klien, kemudian menerimanya, dan dalam perkembangannya dapat bekerja bersama. Selain keberadaan klien yang sudah eksist, pemerintah atau masyarakat setempat pun, diadvokasi agar dapat membuka sarana yang mudah diakses oleh para klien, misalnya pengadaan aksebilitas seorang diffabel di rumahnya sendiri yang harus dirancang sedemikian rupa sesuai dengan apa yang dibutuhkan atau sarana umum lainya yang memang mudah untuk diakses oleh para diffabel tersebut.
Semua Pelayanan di atas adalah sebagai usaha untuk mewujudkan Panti Karya Hephata HKBP.

Visi Panti Karya Hephata
Terwujudnya para diffabel yang berdaya secara holistic, mandiri, dan inklusif.

Misi Panti Karya Hephata
a.       Menjadikan Panti Karya Hephata sebagai tempat pembinaan bagi para diffabel yang lebih mandiri.
b.      Membuat Panti Karya Hephata sebagai pusat rehabilitasi dengan sarana dan prasarana yang memadai.
c.       Mewujudkan Panti Karya Hephata menjadi model pemberdayaan para diffabel.
d.      Mendorong masyarakat dan stakeholder dalam mendukung pengembangan Panti Karya Hephata.
e.       Mengupayakan segala potensi yang ada untuk menuju kemandirian pelayanan.
f.       Panti Karya Hephata berperan sebagai penggerak dan motivator program rehabilitasi bersumberdaya masyarakat.

Penutup
Sama seperti pertanyaan yang diajukan kepada Yesus, mengapa ada yang terlahir tidak sempurna? Apakah mereka terlahir karena dosa orangtuanya, atau karena dosa mereka sendiri? Yesus dengan bijaksana-Nya dan tepat mengatakan, ”Bukan karena dosa siapa-siapa atau kesalahan orang tuanya, melainkan karena Allah ingin menunjukkan kuasa-Nya di dalam dan melalui mereka”
Hal inilah yang memang terjadi dalam kehidupan para diffabel, khususnya para diffabel yang dilayani Panti Karya Hephata. Menurut pandangan manusia mereka adalah orang yang tidak ”normal” bahkan sering dipinggirkan. Tetapi jika dilihat dan hidup bersama dengan mereka, banyak hal yang orang ”normal” lakukan bisa juga mereka lakukan, sehingga hal ini memiliki arti bahwa mereka lebih hebat dari orang-orang yang mengganggap dirinya ”normal”. Dalam keterbatasan, mereka dapat melakukan yang luar biasa, untuk dirinya, untuk keluarganya dan untuk orang-orang yang ada di sekitarnya, bahkan untuk seluruh ciptaan. Benarlah apa yang dikatakan oleh Yesus, bahwa Allah ingin berkarya dan menunjukkan kekuasaan-Nya melalui para diffabel, khususnya yang ada di Panti Karya Hephata HKBP, karena mereka adalah Imago DEI.