Aroma keramaian yang berbeda menjulang di sekujur khayalan fantasi diffabel Hephata. Hebatnya aroma itu mengajak mengelilingi setiap tapak jalan yang sedikit lebih mulus daripada kerikil imut di Hephata. Kami (Pandi Silaban, Weldrin Situmeang, Haposan Lumbangaol, Rumi Purba, Hartono Simatupang), sang musisi diffabel bersama dengan pejuang-pejuang tangguh Hephata Pdt. Osten Matondang dan Binsar Nababan, serta para sahabat hati kami, Kel. St. S. Manik br. Siahaan dan Ny. St. H. Nababan br. Siburian, berbagi kegirangan, keraguan, keterkejutan dan keceriaan, bersama segudang keindahan wahana Dunia Fantasi, yang mencengangkan.
Kaki melangkah ringan namun ragu dengan jalan yang dipijakinya, hendak kemana sang tuan membawa. Orang bilang berfantasi adalah suatu lapangan bola yang luas tempat kita mengelilinginya dengan berbagai kawanan angan-angan lucu dan haru, yang bahkan hari bisa lupa akan dirinya sendiri. Tak terkecuali kami sang fantastic diffabel. Lapangan bola fantasi kami diisi tak dengan rerumputan ataupun dedak untuk mengenyangkan ternak lagi, tak juga diisi dengan sekat kokoh sang ijuk yang mungkin juga sudah merindukan lagi. Tapi lapangan hijau itu hendak menuliskan syair dengan nada-nada gubahan hati kami tentang nikmatnya bersyukur dan mesranya Tuhan mengasihi kami.
Waktu yang berdentang tegas namun bermakna lembut mengajak bermain yang biasanya tak lazim dilakukan di Hephata, mengingat Hephata tidak mungkin menyediakan wahana bermain karena anak Autis bisa ”membungkus dan menyimpannya” di “rumahnya” untuk bermain sendiri.
Dunia fantasi yang namanya megah di telinga kami itu pun menyambut kehadiran kami dengan wajah bertanya, ”siapa tamu baruku ini?”. Pijakan kaki kami menjawab sombong, ”bersiaplah untuk kami taklukkan!”.
Fantasi pun dimulai. Sahabat angin bernama Bianglala kami kunjungi. Perkenalan pertama ini kami lakukan dengan meraba empuk tipuannya supaya setidaknya dia tidak macam-macam dengan sang diffabel kebanggaan Hephata ini. Dengan kokoh Bianglala mengangkat kami dan memutar-mutar dengan harapan kami turut bermain dengan sahabatnya, sang angin. Dengan keberanian yg memusingkan kepala kami menyapa angin yang sudah tertawa duluan menghembuskan aroma bersahabatnya kepada kami. Tenang diffabel tangguh, terpaan angin boleh memutar-mutar dan memusingkan, tapi dia tidak akan mencampakkan buatan tangan Sang Anugerah ini.
Saat turun, semacam perahu kebanggaan Nuh memanggil kami. ”tidak hanya Bianglala yang bisa mengayun-ayun kalian sobat... berkenankah mengarungi lautan fantasimu denganku Kora-kora, si perahu cantik ini?”. Sedikit tergelitik, ”namamu sangat aneh,” kata kami. Sang Kora-kora dengan bangga menyuguhkan ayunan hebatnya hingga 90°. Serasa mengarungi lautan angan-angan dengan kepala tegak layaknya mawar putih hephata yang menegakkan mahkotanya menyambut fajar. ”Kora-kora...kau memang hebat!”.
Bukannya mendung apalagi hujan tapi kenapa halilintar seperti datang menyambar ya??? Hmmm ternyata kereta kecepatan tinggi ini tak salah membanggakan namanya yang pergerakannya mengalahkan kedipan mata dan ketajaman kecuramannya mengalahkan tatapan mata puncak gunung yang melambung di langit kebebasan. Ketika ia berbicara, aku tak punya kesempatan memotongnya. Sedikit ada rasa khawatir ketika sang Halilintar menantang adrenalin memacu. Siapa menyangka tangguhnya sang Halilintar berlari cepat, ternyata mampu dikalahkan oleh kepolosan dan ketulusan hati bersahabat oleh Hartono Simatupang yang tak bosan mengajak halilintar berlari 2x mengejar impian kanak-kanaknya yang menghampar luas di lapangan rerumputan Hephata yang senantiasa menemani silih berganti.
Hei, ada apa dengan Tornado? Dia hanya melihat dengan sendu. ”Aku hanya tak mampu melayani kalian dengan kondisi yang tak sempurna”, wahana Tornado menyesal karena masih dalam proses perbaikan. Sebenarnya kami juga khawatir kalau seandainya sang Tornado benar-benar sempurna melayani kehadiran kami. Dalam lubuk hati terdalam terpanjat doa agar tidak memenuhi wahana ini, walaupun tak tega dengan sang Tornado yang ditakuti harus berjuang untuk kesempurnaannya selanjutnya. Tornado mengajarkan, ”dalam hidup tidak perlu takut sebelum mencoba, karena kau hanya akan kurang berhasil dibandingkan sama sekali tidak mencoba yang membuatmu menjadi pecundang bagi kekejaman yang sebenarnya bisa diruntuhkan menjadi kearifan”. Maafkan kami tornado...
Dituliskan oleh: Rosnila Nellawaty Sihombing, STh
Koordinator Bina Karya Panti Karya Hephata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar