cerita kami
JHON PANDI SILABAN
Meski demikian, aku tetap
bersyukur karena aku memiliki keluarga yang selalu mengasihi aku. Kondisi
ekonomi keluarga kami yang terhitung rendah tidak menghalangi aku merasakan kehangatan di tengah keluarga,
terlebih kasih sayang dari seorang ibu yang sangat tulus kepada putranya yang
difabel ini. Mereka memberikanku kesempatan untuk beraktivitas seperti
anak-anak lainnya. Aku tetap bisa bermain dengan teman seusiaku. Aku diajari
mengisi hari-hariku dengan berbagai aktivitas yang berguna seperti mengolah
daun kelapa menjadi sapu lidi dan juga mengerjakan berbagai pekerjaan rumah.
Kasih sayang penuh serta pengajaran dan pembinaan yang cukup selama 13 tahun
bersama mereka, membuatku tidak kaku dalam beraktivitas.
Suatu ketika seorang biblevrouw yang melayani di
Sibolga tempat kelahiranku memperkenalkan kami dengan Panti Karya Hephata
sebagai tempat rehabilitasi bagi para difabel. 1 Mei 2001 adalah hari pertama
bagiku menginjakkan kaki di Hephata dan terdaftar sebagai anggota keluarga
Hephata. Saat itu aku datang dengan perasaan takut selayaknya seorang anak
remaja yang akan menjalani kehidupan di komunitas yang benar-benar baru
baginya. Awalnya terasa sangat sulit bagiku, apalagi karena harus tinggal
terpisah dari keluargaku, khususnya dari ibunda yang selalu setia menemani dan
membimbingku. Butuh waktu yang cukup lama bagiku untuk beradaptasi dengan
lingkungan baruku di Hephata, tetapi seiring berjalannya waktu akupun menikmati
hari-hariku di Hephata. Aku semakin betah dan menganggap komunitas Hephata
sebagai keluarga keduaku. Dan…. akhirnya aku mencintai Hephata.
Di Hephata aku menduduki
bangku sekolah dan di Hephata juga aku dilatih berbagai keterampilan termasuk
musik yang menjadi bagian dari hari-hariku. Ketertarikanku pada permainan musik
baru dapat kuwujudkan ketika aku telah berada di Hephata. Aku sering mengisi
waktuku dengan latihan bermain musik, khusunya organ dan keyboard. Aku
bersyukur karena ketika itu pimpinan Hephata yakni Pdt. B.Bakkara selalu
memberikan kami kesempatan untuk memainkan alat musik ditambah lagi Gr.
Aritonang yang juga mengajari dan membantu mengembangkan pengetahuan musik
kami. Ternyata ketertarikanku pada musik, keseirusanku berlatih dan dukungan
staf Hephata membuahkan hasil yang nyata bagiku. Demikian aku memahami proses
perkembangan pengetahuanku dalam musik yang memang masih harus selalu
kutingkatkan.
21 Agustus 2002 adalah awal
dibentuknya team musik PK. Hephata dengan diprakarsai oleh Pdt. B. Bakkara dan
Gr. Aritonang. Ketika itu kami terdiri dari 6 personil, 4 di antaranya bermain
musik dan 2 orang penyanyi. Aku sangat senang, terlebih lagi karena satu dari
penyanyinya adalah teman hidup yang aku cintai, ibu dari 3 orang anakku. “Lenta
Siringoringo” namanya, seorang difabel tuna netra yang gemar menanam berbagai
jenis bunga. Istriku telah menjadi anggota keluarga Hephata sebelas tahun lebih
awal dariku yakni sejak tahun 1990. Pertemuanku dengannya di Hephata semakin
melengkapi kebahagiaanku, disamping pengetahuan dan persahabatan yang sudah
membahagiakan aku sebelumnya.
Ada begitu banyak hal yang
aku suka di dalam kebersamaan team musik. Aku bisa merasakan perjalanan ke
berbagai daerah dan menghibur banyak orang dengan permainan musik kami. Meski
demikian, aku tetap menyadari masih banyak tehnik yang harus kami pelajari
untuk lebih memantapkan permainan musik kami. Aku mempunyai mimpi yang besar
terhadap perkembangan team musik Hephata. Aku juga mengharapkan adik-adik
difabel lainnya dapat menjadi generasi penerus team musik ini. Hal ini sangat
penting karena sebagian besar anggota team musik adalah klien pra-mandiri yang
diharapkan akan dapat mandiri dan kembali hidup di tengah-tengah masyarakat.
Atas dasar pemikiran itu, dengan serius aku dengan didampingi staf Hephata
memberikan waktu dan hatiku untuk mengajari adik-adik difabel yang memiliki
kecintaan dan keseriusan terhadap musik. Saat ini aku melatih 4 orang adik
difabel dalam permainan musik keyboard dan organ dengan fokus musik gerejawi.
Mereka adalah Lilis Rajagukguk, Rindu Panjaitan, Saritua Munte dan Harjono
Rajagukguk, keempatnya adalah difabel tuna netra. Demikian aku mengisi waktu
luangku jika aku tidak sedang sibuk mengurus ternak (babi) dan melakukan
perkejaan rumah (memasak, membersihkan rumah dan membantu istri mengurus
anak-anak).
Meski aku memiliki
keterbatasan dalam penglihatanku, aku tetap memiliki impian. Kasih sayang yang
aku terima dari keluargaku semasa tinggal bersama mereka merupakan kekuatan
yang sangat besar bagiku. Aku merindukan akan ada banyak orang menerimaku
dengan apa adanya aku. Jika suatu ketika nanti aku mandiri, aku berharap
kembali ke tengah masyarakat yang tidak lain juga rumah dan komunitasku, dimana
di tengahnyalah aku beraktivitas dan benar-benar menjadi bagian dari
masyarakat. Aku merindukan keterbukaan setiap orang untuk menerima difabel
dengan anggapan bahwa mereka tidak lebih rendah dari yang lainnya, memahami
bahwa difabel hanya soal keberagaman.
Orang-orang yang
mendukungku adalah kekuatanku menjalani hidup sehingga aku yang tidak mampu
melihat dengan menggunakan kedua mata tetapi dapat melihat dengan hati bahwa
ternyata dunia ini indah. Ketenangan dan kenyamanan hatiku bersama orang-orang
yang mendukungku memampukan aku melihat dengan hati bahwa dunia ini indah dan
bahwa hidupku indah seindah iringan musik yang dimainkan team musik Hephata. (RJS)